01 January 2013

Where She Went

 “Ada beberapa hal yang tidak bisa kau kendalikan, 
tidak peduli seberapa keras kau mencoba” 
~Gayle Forman~ 

Where She Went (Setelah Dia Pergi) adalah lajutan dari If I Stay (Jika Aku Tetap Di Sini). Sebenarnya, tanpa dilanjutkan pun saya sudah puas dengan If I Stay. Pertama, yang membuat saya suka If I Stay adalah penggambaran Mia tentang orangtuanya Denny dan Kat, kakek neneknya, Kim sahabatnya serta Teddy, adik satu-satunya. Sementara orangtua dan adiknya meninggal akibat kecelakaan. Berarti dalam sekuel mereka sudah tidak ada lagi. Kalau pun ada porsinya sangat sedikit. Kedua, saya sering menemukan sekuel dari sebuah buku tidak sebagus buku pertama. Tapi ketika berkeliaran di Gramedia, tanpa sengaja saya menemukan buku ini. Dan dilihat dari segi harga juga cukup terjangkau. Jadi kubeli saja.

Where She Went menceritakan tiga tahun setelah Mia bangun dari koma. Jika dalam If I Stay, sudut pandang orang pertama adalah Mia, maka dalam Where She Went, yang menjadi narator adalah Adam. Adam dan bandnya, Shooting Star, telah menjadi bintang rock terkenal. Lagu-lagu mereka menduduki puncak tangga lagu selama berminggu-minggu. Sementara itu, Mia juga menjadi bintang di kalangan musisi klasik. Dia menyelesaikan kuliahnya hanya dalam waktu tiga tahun dan telah ditawari pekerjaan di berbagai orkestra. Keduanya tidak pernah bertemu sejak Mia masuk sekolah musik Juilliard. Suatu malam, sehari sebelum Adam berangkat tur ke berbagai negara dan sebelum Mia meninggalkan New York untuk konser di Jepang dan Korea, mereka bertemu kembali. Ada waktu sekitar 24 jam yang mereka gunakan untuk menjelajahi kota dan mengunjungi masa lalu. 

Alur yang dipakai novel ini masih sama seperti sebelumnya, maju mundur. Temponya juga tetap cepat. Hanya saja kesan saya tidak seperti ketika membaca buku pertama. Ini mungkin karena Adam. Berbeda dengan Mia yang banyak bercerita tentang keluarga dan sahabatnya, Adam lebih banyak bercerita tentang band dan pergulatan hidupnya menjadi bintang. Dan berbeda dengan Mia yang kuat dan tegar, sikap Adam yang rapuh di novel ini tidak membuat saya sedih, malah bikin emosi. Baiklah, saya cukup simpati mengingat posisinya sebagai orang yang ditinggalkan. Yang membuatnya menulis lagu, menjadi bintang, menarik diri dari orang-orang dan lari ke alkohol dan obat-obatan. Tapi sikapnya yang selalu terpuruk karena ditinggal Mia benar-benar membuat saya kesal. Kupikir laki-laki tidak seharusnya seperti itu. 

Endingnya juga tidak sulit ditebak. Di buku pertama, sampai beberapa halaman sebelum terakhir, saya masih berpikir Mia akan memilih mati. Ternyata tebakan saya meleset. Sementara di novel ini saya sudah yakin endingnya sejak mereka bertemu di konser Mia. Dari segi sampul, saya lebih suka sampul novel pertama. Saya lebih suka gambar kursi kosong yang tertutup salju dibanding gambar gitar. Suasana sepinya lebih terasa. 

Sisi lain yang menarik dari novel ini adalah lirik-lirik lagu. Ada dua yang cukup berkesan yaitu yang berjudul Animate dan Roulette. Oh ya, tambahan, entah kenapa penggambaran Adam mengingatkan saya pada Alex Band, vokalisnya The Calling.

First you inspect me
Then you dissect me 
Then you reject me 
I wait for the day 
That you’ll resurrect me 
~Animate~

Barrel of the gun, rounds one two three 
She says I have to pick; choose you, or choose me 
Metal to the temple, the explosion is deafening 
Lick the blood that covers me 
She’s the last one standing 
~Roulette~
 
;