10 July 2015

Burial Rites


“Aku paling kejam kepada dia yang paling kucintai”
~Laxdǽla Saga~

Tahun 1829, di sebuah kota kecil di Islandia Utara, Agnes Magnusdottir menunggu pelaksanaan hukuman mati atas dirinya. Karena tak ada penjara untuk menampungnya, Agnes ditempatkan di rumah keluarga Petugas Wilayah Jon Jonsson. Merasa tak nyaman ada pembunuh di tengah mereka, keluarga itu memperlakukan Agnes dengan dingin. Yang mau berusaha memahaminya hanya Asisten Pendeta Thorvarur “Toti” Jonsson yang ditugaskan untuk mempersiapkan Agnes menjemput maut.

Sejak kecil, Agnes hidup dari belas kasihan orang lain dan berkerja berpindah-pindah sebagai pelayan. Kecerdasannya, cara bicaranya yang dianggap asing, dan pengetahuannya tentang kisah-kisah dari buku, membuat orang-orang menjauhinya; nyaris tak seorang pun tahu seperti apa dia sesungguhnya. Agnes jatuh cinta pada Natan Katilsson, orang pertama yang melihat dia sebagaimana adanya, dan dia pun pindah ke pertanian Natan di tepi laut, tempat sunyi yang hanya dihuni segelintir orang. Namun impiannya akan kehidupan yang lebih baik musnah. Natan Katilsson tewas dibunuh, dan Agnes menjadi salah satu tertuduhnya.

Sambil menunggu ajal, Agnes menjalani hidup di tengah keluarga Jonsson, membantu pekerjaan sehari-hari dan meringankan beban mereka. lambat laun sikap keluarga Jonsson mulai mencair. Mereka ikut mendengarkan ketika Agnes menuturkan kisah hidupnya kepada Toti. Hari-hari bergulir tanpa terasa, dan tanggal pelaksanaan hukuman mati semakin dekat.

Burial Rites adalah karya fiksi yang didasarkan pada kisah nyata. Agnes Magnusdottir, orang terakhir yang dijatuhi hukuman mati di Islandia menjadi terpidana atas peran sertanya dalam pembunuhan terhadap Natan Katilsson dan Petur Jonsson pada malam antara tanggal 13 dan 14 Maret 1828 di Illugastadir, semenanjung Vatnsnes, Islandia Utara. Tertarik beli novel ini karena memenangkan tiga penghargaan di tahun 2014. Berlatar di Islandia, daratan dingin yang mengingatkan pada Kokonoe Arata (Nine) dalam Zankyou no Terror.

Sempat berpikir kayaknya saya salah beli buku karena lambang yang tertera di halaman pembuka. Tapi setelah beberapa halaman, jadi penasaran dan akhirnya terus membaca sampai selesai. Kisahnya mengalir seperti sungai kecil, tak banyak riak, tak ada ketegangan dan tidak ada twist. Tapi setelah selesai, kisahnya masih tertinggal dan bermain-main di kepala. Penuturan Hannah Kent yang mengalir begitu saja membuat yang baca ikut hanyut dalam cerita. Suka deskripsinya yang detil tentang masyarakat pedesaan Islandia mulai dari cara menyabit rumput, memanen padi, memerah susu, memotong daging, membuat keju, dan menyajikan kopi. Kopi pada zaman itu dikategorikan minuman mewah karena harganya yang mahal.

Tokoh-tokohnya didasarkan pada hasil riset sejarah dan penafsiran penulis. Agnes Magnusdottir punya kemampuan membaca yang sangat tinggi. Tapi pengetahuan ilmiah yang dia dapat dari buku membuatnya ditakuti masyarakat dan sering disebut penyihir. Pada masa itu perempuan barat dilarang banyak membaca atau tahu banyak hal karena sistem menuntut laki-laki harus lebih pintar dari perempuan.

Karakter kedua tokoh abu-abu, Ages maupun Natan. Agnes memang cerdas, tapi tak banyak pilihan bagi pelayan yang hidup di daratan dingin dan bergantung pada hasil pertanian. Hanya Natan yang memahami dirinya dan mengajarinya banyak hal. Di sisi lain, cinta juga bisa membuat perempuan cerdas jadi bodoh. Natan pun tak lebih baik, dijuluki keturunan penyihir karena dia jenius yang ahli meramu obat, mengobati penyakit dan menolong banyak orang. Dia dibutuhkan sekaligus dibenci orang-orang. Tapi seperti kata Agnes, Natan adalah lelaki brengsek. Di awal-awal saya suka karakternya yang digambarkan sebagai pahlawan oleh Agnes. Macam pangeran yang akan menyelamatkan Cinderella dari kubang penderitaan. Tapi lama kelamaan mulai kelihatan brengseknya. Di akhir cerita dipaparkan kronologis pembunuhan dan alasan yang melatarinya. Mungkin itulah mengapa dikatakan, “Aku paling kejam kepada dia yang paling kucintai.”
 
;