10 July 2015

Kenalan dengan John Green

Paper Towns 
Saat Margo Roth Spiegelman mengajak Quentin Jacobsen pergi tengah malam –berpakaian seperti ninja dan punya daftar panjang rencana pembalasan– cowok itu mengikutinya. Margo memang suka menyusun rencana rumit dan sampai sekarang selalu beraksi sendirian. Sedangkan Q, Q senang akhirnya bisa berdekatan dengan gadis yang selama ini hanya bisa dilihatnya dari jauh. Hingga pagi datang dan Margo menghilang lagi. Ada beberapa petunjuk yang ditinggalkan Margo dan semuanya untuk Q. Q sadar bahwa semakin ia dekat dengan Margo, semakin ia tidak mengenal gadis itu. 

An Abundance of Katherines 
Tipe cewek yang disukai Colin Singelton adalah cewek-cewek bernama Katherine. Dan kalau soal Katherine, Colin selalu jadi yang tercampak. Setelah diputuskan oleh Katherine XIX, cowok genius yang hobi mengutak-atik anagram ini mengadakan perjalanan panjang bersama sahabatnya, Hassan. Collin ingin membuktikan teori matematika karyanya supaya dapat memprediksi hubungan, menolong para Tercampak dan akhirnya mendapatkan sang gadis. 

Looking for Alaska 
Miles “Pudge” Halter sangat suka kata-kata terakhir yang terkenal—dan bosan dengan kehidupannya yang biasa saja. Ia masuk sekolah berasrama bernama Culver Creek untuk mencari apa yang disebut “Kemungkinan Besar”. Hidupnya jungkir balik di sekolah itu, yang kadang gila, tidak stabil dan tak pernah membosankan. Sebab di sana ada Alaska Young, yang menawan, pintar, lucu, kacau dan sangat memikat. Alaska menarik Pudge memasuki dunianya, melontarkannya ke dalam “Kemugkinan Besar”. Dan hidupnya tak pernah sama lagi.

Mulai baca novel-novel John Green setelah nonton film rekomendasi teman berjudul The Fault in Our Stars. Novel pertamanya yang saya baca adalah Paper Towns, dicomot dari Gramed karena suka dengan judul, desain cover dan sinopsisnya yang unik. Setelah itu lanjut ke An Abundance of Katherines kemudian Looking for Alaska. Looking for Alaska sengaja ditaruh di akhir karena banyak yang bilang bagus. Ibarat makanan, katanya bagian paling enak dimakan belakangan. Sayangnya tidak selalu seperti itu, terlebih untuk jenis makanan yang baru pertama kali kau makan. Tapi berbicara soal makanan, jangan biasakan menyimpan bagian yang paling kau suka di akhir, karena bisa jadi ada orang lain yang akan memakannya (pengalaman, hihihi). Ada lagi dua novel John Green yang lain berjudul Let It Snow dan Will Grayson. Tapi tidak minat beli yang terakhir karena nampaknya bertema “pelangi”.

Ketiga novel masuk kategori teenlit atau remaja dan romance yang bercampur petualangan (padahal yang baca bukan remaja lagi, hikz!). Tokoh utama punya karakter yang mirip-mirip; cerdas, jenius dan kutu buku. Kemudian karena sesuatu hal, si kutu buku harus melakukan perjalanan ditemani sahabatnya demi mencari atau membuktikan sesuatu. Di Paper Towns, Quentin menyabotase van milik orangtuanya bersama Ben dan Radar untuk melacak keberadaan Margo. Sementara Colin ditemani Hassan mengadakan perjalanan panjang, lagi-lagi mengendarai mobil, untuk membuktikan teori matematikanya dan mengobati patah hatinya dicampakkan Katherine XIX.

Terus terang, saya lebih menyukai bagian komedi dan cerita selama perjalanan dibanding tujuan akhir tokoh utama. Tak masalah apakah Q berhasil menemukan Margo dalam keadaan hidup atau mati, tak ambil pusing bagaimana nasib model matematika Colin dengan Katherine-Katherine-nya, atau apakah Pudge menemukan “Kemungkinan Besar”nya, kisah Q dan Colin menghibur karena kehadiran Ben, Radar dan Hassan sebagai karakter pendukung. Dialog lucu yang disertai kekonyolan selama perjalanan membuat saya senyam-senyum selama membaca. Saya suka cerita lucu, tapi tidak melucu terus seperti novel komedi. Suka drama, tapi bukan drama melulu dari awal sampai akhir. Dan suka nuansa kelam tapi tidak sampai membuat depresi. Nah, John Green pandai merangkum semua itu dalam Paper Towns. Saya puas dengan akhir ceritanya. Puas dengan keputusan yang diambil oleh Q maupun Margo. Berbeda dengan Looking for Alaska.

Tokoh kutu buku dalam Looking for Alaska masih ada, tapi tidak ada lagi perjalanan panjang mengendarai mobil. Diganti dengan kejahilan-kejahilan remaja di sekolah berasrama. Pun, persahabatan antara Pudge dan Kolonel terasa hambar, tidak sekuat Colin dan Hassan atau Q dengan Ben dan Radar. Selain itu, Miles “Pudge” Halter adalah karakter yang brengsek. Tak masalah baginya meminta satu cewek jadi pacarnya sementara ia mencintai cewek lain. Sulit menahan diri untuk tidak memutar bola mata selama membaca pikiran Pudge yang terus-terusan didominasi asumsi akan perasaan Alaska padanya. Alaska juga lebih tepat disebut menjengkelkan dibanding memikat. Kacau, iya. Di Paper Towns saya simpati dan kasihan pada sosok Margo yang berpendirian teguh, cerdas, punya orangtua lengkap tapi terpental dari keluarganya sendiri. Berbeda dengan Alaska yang sepertinya sengaja membuat dirinya rumit dan tak bisa dipahami. Jika diurutkan, saya paling suka Paper Towns kemudian An Abundance of Katherines dan terakhir Looking for Alaska.
 
;