02 August 2015

The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappeared

Allan Karlsson hanya punya waktu satu jam sebelum pesta ulang tahunnya yang keseratus dimulai. Walikota akan hadir. Pers akan meliput. Seluruh penghuni Rumah Lansia juga ikut merayakannya. Namun ternyata, justru yang berulangtahunlah yang tidak berniat datang ke pesta itu. Melompat lewat jendela kamarnya, Allan memutuskan untuk kabur. Dimulailah sebuah perjalanan luar biasa yang penuh kegilaan. Siapa sangka, petualangannya itu menjadi pintu yang akan mengungkap kehidupan Allan sebelumnya. Sebuah kehidupan di mana –tanpa terduga– Allan memainkan peran kunci di balik berbagai peristiwa penting pada abad kedua puluh. Membantu menciptakan bom atom, berteman dengan Presiden Amerika dan tiran Rusia, bahkan membuat pemimpin Komunis Tiongkok berutang budi padanya! Siapa, sih, Allan sebenarnya ?

Ini novel dengan judul terpanjang yang pernah saya baca. Awalnya saya pikir petualangan Allan akan mirip dengan petualangan kakek-kakek dalam film animasi Up. Tapi setelah baca beberapa halaman, harapan kecil itu buyar. Petualangan Allan tidaklah sesederhana itu, malah lebih mirip kisah Forrest dalam film Forrest Gump, bahkan lebih gila lagi.

“Ketika kau sudah hidup terlalu lama, akan mudah sekali bertindak semaunya” (hal. 9)

Alur novel ini maju mundur. Jadi boleh dibilang ada dua bagian cerita. Cerita pertama, dimulai tahun 2005 ketika Allan yang berumur 100 tahun melompat dari jendela dan memutuskan untuk kabur, kemudian mencuri koper milik anggota organisasi kriminal Never Again, dan akhirnya dikejar-kejar oleh polisi dan bos organisasi itu. Lalu cerita kedua mundur ke tahun 1905 ketika Allan lahir, tumbuh dan melewati masa mudanya dengan berlatih membuat bom yang membuatnya mengalami sederet petualangan yang ajaib. Terus terang, petualangan Allan di masa mudanya jauh lebih menarik, konyol, gila dan jauh lebih menegangkan dibanding petualangannya dikejar-kejar organisasi Never Again.

“Konflik terbesar dan paling sulit diselesaikan di muka bumi ini terjadi karena dialog berikut ini : ‘Kau bodoh, bukan, kau yang bodoh, bukan, kau yang bodoh.’” (hal. 250)

Allan menganut prinsip bahwa segala sesuatu berjalan seperti apa adanya, dan apa pun yang terjadi, pasti terjadi. Prinsip ini yang membawa Allan ke berbagai belahan dunia, bertemu dengan tokoh-tokoh sejarah dan berkali-kali lolos dari maut. Novel ini penuh dengan muatan politik, tapi kehadiran Allan yang polos dan situasinya yang tak tertebak ditambah dialognya yang lucu membuat saya tidak bosan membaca. Politik adalah satu dari dua topik yang paling membuat saya tidak tertarik.

“Balas dendam itu seperti politik, satu hal akan diikuti hal lain sehingga yang buruk menjadi lebih buruk dan yang lebih buruk akan menjadi paling buruk.” (hal. 89)

Jonas Jonasson, si penulis, menyindir banyak hal dan banyak orang dalam novelnya yang setebal 508 halaman itu. Mulai dari komunisme, permainan politik orang-orang penting, hukum, sampai agama tidak luput dari sindiran penulis. Amerika Serikat disebut sebagai hyena kapitalis. Pendeta Anglikan yang ditemui Allan, yang metodenya merekrut jemaat entah mau disebut gila atau genius karena perbedaannya tipis sekali. Metode penyiksaan ala CIA yang disebut ‘mengagumkan’, sampai kumis Stalin juga ikut dibawa-bawa. Dari awal sampai pertengahan saya rasa tidak ada yang begitu lucu, mungkin karena belum terbiasa baca novel komedi hitam semacam ini. Nanti di halaman 200-an saya mulai senyum-senyum, lalu terkikik-kikik, lalu terkekeh-kekeh, lalu terbahak-bahak. Tawa saya sukses meledak ketika sampai pada dialog yang membahas kumis Stalin itu.

“Orang Hindu dan Muslim tidak akur, dan di tengah-tengah ada Mahatma Gandhi yang duduk bersila, mogok makan karena tidak puas terhadap sesuatu. Strategi macam apa itu ?” (hal. 228)

“Dari semua kelompok yang ada di bumi, menurutku trinitas yang paling tidak membuatku tertarik” (hal. 200)

Dan yang paling seru adalah ketika Indonesia masuk dalam salah satu destinasi petualangan Allan. Alih-alih tersinggung atau marah, saya malah tergelitik membaca gambaran penulis tentang permainan politik di Indonesia. Kalau kau punya posisi, dan uang tentu saja, kau bisa menentukan mana yang benar. Dengan uang, orang bisa dengan mudah mendapatkan surat izin mengemudi bahkan meski orang itu begitu bodoh untuk membedakan mana kiri mana kanan. Dengan uang, orang yang kecerdasannya setara dengan kodok pun bisa jadi gubernur, menteri, duta besar atau bahkan kepala negara. Indonesia adalah negara di mana segalanya mungkin.

“Di Indonesia semuanya bisa dijual sehingga siapa saja yang punya uang bisa mendapatkan apa pun yang mereka inginkan” (Hal. 359)
 
;